Tentang Lingkungan Hidup Perkotaan
Dalam esai berjudul “Pembangunan Lingkungan yang Berkelanjutan” (2008), Bianpoen mengkritik karakter pembangunan di Indonesia yang sangat ekonomi-sentris, yang menempatkan pembangunan fisik sebagai prioritas. “Semua itu hanya dinikmati oleh masyarakat elit atau yang berkuasa. Jika hal ini tidak dihentikan, semua akan mengarah pada spiral kehancuran lingkungan hidup Indonesia,” Tegas Bianpoen.
Bianpoen menaruh perhatiannya pada degradasi kualitas pesisir Jakarta, seperti kerusakan biota laut dan hutan bakau akibat reklamasi untuk pembangunan permukiman, industri, tambak, dan lain sebagainya. Hingga tahun 2004, 57,6% hutan bakau yang tersedia telah hancur. 40.600 km2 dari 58.000 km2 terumbu karang yang menjadi habitat ikan-ikan dan biota laut juga tidak terselamatkan. Selain kerusakan ekosistem bawah laut yang sudah pasti terjadi, negara rugi triliunan rupiah akibat kerusakan ini.
Di samping dimensi fisik, sosial, dan kelembagaan, menurut Bianpoen dimensi etika menjadi salah satu aspek yang paling penting, namun sulit terpenuhi, dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Pembangunan perkotaan yang berkelanjutan sepatutnya mempertimbangkan tiga aspek utama kehidupan: sosial, ekonomi, dan lingkungan, bukan malah saling menjatuhkan satu sama lain.
Bianpoen juga menaruh perhatian pada kondisi perubahan iklim satu dasawarsa terakhir. Dalam esai berjudul “Hutan – Ruang Terbuka Hijau Untuk Apa?” (2009), Bianpoen berargumen bahwa mengandalkan hutan kota untuk menekan angka karbon CO2 di udara adalah hal yang tidak lagi relevan. Berdasarkan penelitian sebelumnya, ia menyebut setiap orang membutuhkan vegetasi seluas 40m2 untuk dapat menghirup oksigen bebas selama 24 jam. Jakarta, yang akan dihuni 12,5 juta penduduk saat itu, membutuhkan hutan seluas 50.000ha untuk pasokan oksigen setiap orang. Dengan luas Jakarta 68.470 ha, berarti 73% wilayahnya harus dihutankan. Dan hal ini jelas tidak akan terjadi.
Melestarikan biota laut dan menekan angka pelepasan karbon ke udara jauh lebih penting ketimbang mengembalikan kondisi hutan di kota. Sebab, 80% oksigen di bumi berasal dari hasil fotosintesis plankton dan flora lain yang ada di laut. Selain itu, setiap tahun jumlah karbon di udara meningkat 10% akibat penggunaan kendaraan bermotor dan perangkat lain manusia lainnya. Oleh karena itu, bagi Bianpoen, tanpa mengurangi jumlah pelepasan karbon maka usaha menanam pohon tetap tidak efektif, dan diperlukan kemuan politis untuk bisa melakukannya.
Menghentikan penggunaan energi fosil, mengurangi penggunaan AC dan lampu pada siang hari di perkantoran, menggunakan energi terbarukan (matahari, angin, gelombang laut, air, dan panas bumi) untuk pembangkit listrik, menata kelola daur ulang sampah kota, dan menggunakan energi listrik untuk kendaraan umum, adalah cara-cara yang bisa diupayakan untuk mengurangi jumlah karbon melalui kebijakan yang tegas. Bianpoen juga mengkritik penambahan 13 koridor TransJakarta saat itu yang dianggap menambah jumlah kendaraan bermotor di Jakarta. “Busway harus dihapus, karena menimbulkan kemacetan luar biasa di jalan-jalan alternatif dan oleh karena itu meningkatkan pencemaran udara.”, Tegasnya.
